Beranda > Aktivitas, Amanat, Apa kata Guru, Hikmah, Ibadah, Inspirasi, Kajian Kitab > Kenduri Arwah, Tahlilan Menurut Ulama

Kenduri Arwah, Tahlilan Menurut Ulama

Di bawah ini adalah kopi paste dari Catatan Habaib Mundzir seputar masalah kendurian, tahlilan  dan berbagai persoalan yang dianggap bidah sesat oleh kalangan yang menentangnya. Ada yang beranggapan bahwa tahlilan itu berakar dari agama HINDU.

Tanpa mengurasi rasa hormat terhadap yang menentangnya, bahwa naskah-nashkah arab banyak yang mendukung masalah perjamuan, memakan makanan pada orang yang tengah berduka dan lain-lain. Namun semua ini kembali kepada indiividu masing-maasing, apakah diterima atau tidak.

Hemat saya, Islam yang cakupannya luas ini, tidak mungkin akan selalu bermuara pada sat di mana Rasulullah saw hidup. Terkeculai, ibadah-ibadah yang sifatnya wajib. Itu akan berlaku sepanjang masa. Sementara masalah ibadah yg sunnah seperti baca quran, shalawat dan lain-lain Rasulullah saw tidak mengajarkan harus di mana, kapan dan sperti apa. Inti ajaran agamanya sudah ada. Namun teknik dan montase diserahkan masing-masing umatnya.

Inilah seputar catatan itu.

*KENDURI ARWAH, TAHLILAN, YASINAN MENURUT PARA ULAMA*

Hal itu merupakan pendapat orang – orang yang kalap dan gerasa – gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yang mau bersedekah pada muslimin?

عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها
ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004). Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :

وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع
العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء

“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90) Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu – tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.

Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka? Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu. Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.

1. Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة

“mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).

Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum
sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram.

Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.

Dalam istilah – istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dan hal semacam ini sering tak difahami mereka yang dangkal dalam pemahaman syariahnya.

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan.

Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah jika ada yang wafat.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun
beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
Orang – orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul wahhab) menafsirkan kalimat “makruh” adalah hal yang dibenci, tentu mereka salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah,
bukan bicara dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa dan secara syariah, maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang dibenci, namun dalam syariah adalah hal yang jika dilakukan tidak dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Namun mereka
ini tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa, mana buku yang membahas hukum syariah.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam – macam, hal ini makruh, (bukan haram).

Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu – tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yang memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika
dilakukan.

Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa – apa ..?, datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu. Bahkan Rasul saw memerintahkan diadakan makanan dirumah duka, sebagaimana hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya Jakfar bin Abi Thalib : “Buatkan makanan untuk keluarga (alm) Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal – hal yang menyibukkan mereka” (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru menunjukkan bahwa Rasul saw memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka. Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.

Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini dalil bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan, namun mereka lupa bahwa hadits ini justru perintah Rasul saw agar disiapkan makanan dirumah duka, karena beliau saw bukan mengatakan tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan perintahnya jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian (bukan untuk satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka”. Apa? para tamu.

Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan). Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.

Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi 5 bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164- 165).

Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh. Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yang makruh), karena Bid’ah tercela itu tidak semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan – hiasan warna – warni membentuk pemandangan atau istana – istana dan burung – burung misalnya, ini adalah bid’ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun bid’ah buruk yang makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.

Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Berkata Shohibul Mughniy :

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا ل إلى شغلهم وتشبها
بصنع أهل الجاهلية

Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)

Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن
البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه

Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).

(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah bahkan hal yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu) Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.

Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :

Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang – orang” (Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia berkata sanadnya Hasan) Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya Kuat).

Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yang membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372)

Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :

فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام
، فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد
! فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده
وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس
أيديهم فأكلوا

Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra :

Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan. (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)

Kini saya ulas dengan kesimpulan :

1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan yang dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits No.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,

3. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.

4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan, dengan landasan sabda Rasul saw : “Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, sungguh mereka sedang dirundung kesedihan”

5. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang akan saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk menjamu tamunya jika ia wafat

6. Boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau catering untuk menyambut tamu – tamu, karena pelarangan akan hal itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.

7. Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih 1.000 ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.

Demikian, bagaimana menurut Anda?

  1. 'aawy juga kuya
    8 April, 2011 pukul 12:12 pm

    قال النبي صلى الله عليه وسلم الدعاء والصدقة هدية إلى الموتى
    وقال عمر رضي الله عنه : الصدقة بعد الدفنى ثوابها إلى ثلاثة أيام والصدقة فى ثلاثة أيام يبقى ثوابها إلى سبعة أيام والصدقة يوم السابع يبقى ثوابها إلى خمس وعشرين يوما ومن الخمس وعشرين إلى أربعين يوما ومن الأربعين إلى مائة ومن المائة إلى سنة ومن السنة إلى ألف عام

    • 14 April, 2011 pukul 10:02 am

      kalau diartikan bebas maka bunyi teks itu adalah:
      “Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalm bersabda: “doa dan shodaqoh yg dihadiahkan kepada yang mati…. Berakata Umar Radiallahu ‘anhu: shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 50 hari dan dari pahala 50 sampai 40 harinya akan kekal hingga seratus hari dan dari seratus hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari…. (begitukah terjemahnya??)

      Terima kasih bib atas pencerahannya….. makin mantaplah dan ini alasan bahwa para sepuh kita melakukan dzikir dan tahlil sebagaimana sering kita lakukan.
      Syukron bib, barakallah…

  2. 12 April, 2011 pukul 4:41 am

    saya hanya berpesan kepada semua orang-orang yang merasa alim ulama atau yang merasa faham dengan dalil dan hukum islam, JELASKAN YANG KHARAM ITU KHARAM, YANG BID’AH ITU BID’AH dan yang di wajibkan itu harus di jalankan, jangan pernah merubah hukum dan ajaran ROSULULLOH SAW hanya karena menuruti hawa nafsu yang ada dari dalam hati, tidak ada yang namanya keturunan ROSULULLOH SAW yg masih hidup atau biasa yg di sebut oleh masyarakat indonesia dengan sebutan “habib” dari julukan ini saja sudah jelas pembohongnya, trus bagaimana kita bisa mempercayai sebuah keterangan hadist dan ayat-ayat al-qur’an yg keluar dari lidah dan mulut para pendusta????

    kembalilah kejalan yang benar wahai saudara- ku semuslim dan seagama…jangan pernah anda mengakui sebagai seorang keturunan nabi MUHAMMAD SAW…ingatlah, siksa kubur dan neraka sangatlah pedih…

    waullohu a’lam bissuab

    • 14 April, 2011 pukul 9:57 am

      Yang haram itu haram yang bid’ah itu bid’ah itu pasti kang.. namun marilah kita pelajari dengan seksama dan mendengar dari berbagai sumber, bukan dari satu sumber saja.. Pendusta ataupun tidak, kerendahan hati kitalah yang menentukan.

  3. reseloe
    17 April, 2011 pukul 9:29 am

    dan buat jhoreis jgn sok pinter loe yg sok tau sejarah habaib..sok tau kalo habaib tu g ada. muka dlo benerin tuh msh acak2an gitu

  4. nunug
    23 April, 2011 pukul 10:03 pm

    saya lebih suka mendapat pahala daripada tidak

  5. 20 Juni, 2011 pukul 11:42 pm

    udah-udah… gak usah gontok-gontokan… menyelesaikan persoalan dengan cara yang adem ayem kan bisa… malu lho sama yang lagi “NGAWASIN” kita… bagi yang yakin jika keturunan Kanjeng Nabi itu disebut Habaib, ya silahkan terus diyakini dan selalu konsisten untuk selalu bersholawat kepada Kanjeng Nabi dan ahlul baitnya.

    Bagi yang tidak percaya dengan Habaib dan tahlil atau lain sebagainya, dijaga lisannya jika berbicara, jangan suka menuduh tanpa ada dasar, bukti dan fakta yang jelas. Jadinya malah fitnah dan Ummat semakin terpecah belah.. Memang benar semua yang ada di era sekarang tidak semuanya bersumber langsung dari Rasulullah SAW… tetapi selama tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadits ya monggo-monggo saja.. Yakinlah bahwa Allah SWT memberikan kepada manusia akal pikiran, yang tugas utamanya adalah untuk berfikir bukan?

    Inti dari Tahlil/Kenduri adalah mengirimkan doa bagi orang yang sudah meninggal. Agar yang didoakan diberikan kemudahan ketika menempati liang kubur, agar dijauhkan dari siksa api neraka. Jika kita balik sekarang, andai keluarga kita ada yang meninggal dunia, padahal pola hidupnya dipenuhi dengan maksiat, di satu sisi kita sangat sayang kepadanya, pastinya di dalam batin kita akan berucap “mudah-mudahan selamat dan masuk surga?” iya apa tidak? bukankah itu secara tidak langsung juga sama dengan mendoakan si mayit? Bukankan kita yakin bahwa Allah SWT Maha Pengampun, Maha Mengerti, Maha Adil dan lain sebagainya.

    Atau andai saya mendoakan keluarga Anda yang sudah meninggal dengan doa seperti ini: “mudah-mudahan kuburannya penuh dengan cacing, mayitnya di gigit kelabang dan ular, disiksa malaikat kubur, besok diakhirat masuk neraka.” Jika Anda marah berarti Anda percaya bahwa doa untuk orang yang sudah meninggal itu memang perlu. Jika memang tidak percaya atau yakin, tolong jawab pertanyaan saya. “MENGAPA ANAK HARUS SHOLEH/SHOLIHAH DAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA? APA TUGAS SEORANG ANAK SHOLIH/SHOLIHAH? MENGAPA ORANG TUA HARUS MENDIDIK ANAK-ANAKNYA MENJADI ANAK YANG SHOLIH/SHOLIHAH?” Insya Allah, di dalam Al-Qur’an dan hadits sudag banyak yang memberikan jawaban tentang itu. “JIKA KITA MEMANG MAU UNTUK BERPIKIR”..

    Matur suwun….

  6. andik
    30 Agustus, 2011 pukul 12:24 am

    setiap minggu pagi, kita adakan pengajian ahad pagi mulai pukul 06.00, bid’aaaaah, tak ada dalilnya, rosullulloh tak melakukan . shalat taraweh 8 rakaat witir, 3 rakaat atau 10 rakaat witir 3 rakaat jam 8 malam sdh selesai. apa nabi jam 8 malam shalat taraweh sdh selesai????????Nabi SAW qiyamul ramadhan/shalat taraweh selesai menjelang a subuh, kok ga diikuti. anda berbuat bid’ah shalat taraweh jam 8 . malam sdh pulang.

    • zuraida
      14 Januari, 2013 pukul 1:54 am

      yg pnting mengerjakan sholatnya…bukan waktu ini itu lu jadiin masalah…emang lu sholat ndak…

  7. abdullah
    11 Oktober, 2011 pukul 6:32 pm

    janganlah saling mencela,hargailah pendapat orang lain dan jangan merasa benar sendiri karena kebenaran hanya milik allah dan koreksi diri kita masing…wallahu alam

  8. 1 November, 2011 pukul 1:36 am

    buat andik : dalam sebuah hadist shahih riwayat Al- Imam Al-Bukhari :1871(7/135)dalam kitab shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn Al-Khatab secara tegas megatakan tenytang adanya bid’ah hasanah .ialah beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan ramadhan sebagai bid’ah hasanah.Beliau memuji praktik salat tarawih berjamaah ini da mengatakan:sebaik-baik nya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjamaah.

  9. 1 November, 2011 pukul 1:48 am

    MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG BID’AH MENURUT PARA AS-SALAFUS SHALIH

    A. Pengertian Bid’ah
    Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
    مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ .( فتح الباري لابن حجر [6 /292])
    “Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. ( Fath al-Bari 6/292)

    Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
    اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
    “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
    Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid’u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

    Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

    اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
    “Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, 1/278)

    Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

    لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
    “Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

    B. Macam-Macam Bid’ah
    Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
    Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah.
    Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
    Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

    الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلـَةِ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ(

    “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, 1/469).

    Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

    اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

    “Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari 20/330)

    Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-‘Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

    Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
    Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

    مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم

    “Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim : 3242 [9/118])

    Dapat dipahami dari sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

    Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya.

    C. Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
    Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

    1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

    وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27

    “Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

    Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

    Dalam ayat di atas Allah mengatakan “مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

    2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

    مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم

    “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim: 1691 [5/198])

    Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

    3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

    مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم

    “Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim : 3242 [9/118])

    Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.

    Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

    4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari : 1871 [7/135] dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan:

    “نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.

    5. Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : 2029- 2030[6/121] disebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tambahan Abdullah bin Umar dalam talbiyah adalah:

    لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

    6. Dalam hadits riwayat Abu Dawud : 826 [3/156] disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

    أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
    Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:

    “زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ…”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkannya dengan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

    7. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:
    إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح(

    “Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
    Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

    بِدْعَةٌ وَنِعْمَتِ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة(
    “Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah: [2/296] dan Ath Thabrani : 13387 dalam al-Mu’jam al-Kabir 11/54)
    Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari [4/173] dengan sanad yang shahih.

    8. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari: 757 [3/277] meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

    رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
    Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam…”. Lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata:

    رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
    “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
    Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari 2/ 287).

    D. Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

    Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah, di antaranya :
    1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

    فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ
    “Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah : 133 [8/340] dalam kitab al-Mushannaf)
    Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

    Salah seorang dari kalangan tabi’in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

    صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
    “Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab 1/ 358)

    2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum’ah).

    3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi’in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.

    Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya’mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.

    Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi’in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.

    Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu’ (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

    4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

    5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-‘Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

    6. Membaca shalawat atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

    7. Menulis kalimat “Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Si Fulan…”.

    8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa’iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

    Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi’ah, di antaranya sebagai berikut:

    1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
    a. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa’at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma’bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya’mur.

    b. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

    c. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

    d. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

    2. Bid’ah-bid’ah ‘Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha’ dari kata Allah.

    E. Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah

    1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

    وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود
    Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan atau al-Khulafa’ ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .

    Jawab:
    Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).

    Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

    Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

    تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25
    Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum ‘Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.

    Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

    2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup. Adapun setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

    Jawab:
    Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

    لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
    “Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
    Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja”.

    Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.

    3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.

    Jawab:
    Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

    اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
    “Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.

    Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri?!

    4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.

    Jawab:
    Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

    فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ “فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ” وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
    “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
    As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

    قَوْلُهُ “سُنَّةً حَسَنَةً” أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
    “Sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.
    Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

    وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
    “Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

    Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

    Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.

    5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.

    Jawab:
    Subhanallah al-‘Azhim. Apakah berjama’ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i’tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.

    Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara’?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar’i dan dianggap sebagai haqiqah syar’iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara’, lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!

    Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.

    Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
    مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ
    “Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi : 2601 [9/288])
    Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.

    6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

    Jawab:
    Baik, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
    Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara’ yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.

    Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:

    التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
    “Sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah ShallaLlahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak berarti menunjukkan sesuatu itu dilarang”.

    Artinya, ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
    Sudah maklum, bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam disibukkan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.

    Bahkan dengan sengaja Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.

    F. Kesimpulan
    Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, para tabi’in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.

    Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Wallahu A’lam Bish Shawab

    [*] Makalah Ini telah al faqir sampaikan Di Acara Kajian Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang Diadakan oleh Nahdlatul Ulama Ranting Tulungrejo di Mushalla Nur Wahid Desa Tulungrejo Pare Kediri, pada hari Jum’at Pahing malam Sabtu Pon 6 Rajab 1431 H/18 Juni 2010 M.
    Dan juga telah al faqir sampaikan pada acara Kajian Islam Ahad Pagi yang diselenggarakan oleh Komunitas Pecinta Manhaj Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Kopi Manis) Tombo Ati di Masjid Sholeh Salim Batharfi Dusun Sumbersuko Desa Tunglur Kec. Badas Kab. Kediri pada hari Ahad Kliwon, 22 Dzul Hijjah 1431 H/ 28 November 2010 M jam 05.30 – 06.30 WIB

  10. 11 November, 2011 pukul 1:57 pm

    Semoga alim ngulama lebih sabar dalam menjelaskan orang2 setengah setan…. yaitu orang2 yang menolak kebenaran.

    • 15 Desember, 2011 pukul 6:50 am

      ide yg cemerlang (toyyib) smoga para ulama dan kiai d bri ksabran oleh Allah SWT. dlm mnghdapi manusia yg hanya brfkir dengkal, tidak hnya stengah setan tp mang bagian dari syaitoooon……………

      • 19 Desember, 2011 pukul 2:15 pm

        Terima kasih kang Anwari atas kunjungannya. Mari lestarikan kalimah toyyibah bissirri wal ‘alaniyah

  11. dudy
    7 Januari, 2012 pukul 8:23 am

    Assalamu’alaikum wr.wb
    Kalau untuk membaca surat yassin dan dzikir itu sangat dianjurkan, tetapi yg jadi permasalahan adalah:
    1. Apakah pernah dicontohkan Rasullullah SAW bahwa pembacaan al-quran atau dzikir pahalanya bisa diperuntukan atau dikirim yg sudah meninggal, apa ada dalil yg kuat?
    2. Pengiriman doa yg hanya dikhususkan pada hari-hari tertentu (3,7,40,100,1000,dst) apa ada dalilnya, yg saya tahu hal itu berasal dari agama hindu (dlm kitabnya sucinya), informasinya saya peroleh dari ustd. Abdul Aziz, beliau seorang mualaf (mantan pendeta hindu dari kasta brahmana) dan seorang sarjana S1 agama hindu, tentunya beliau sangat mengerti ttg ajaran agamanya terdahulu.
    3. Kalau suatu ritual ibadah yg dibentuk sedemikian rupa (harus hari kesekian, yg dibaca harus ini) apakah itu tidak dikatakan menciptakan ritual ibadah yg baru yg tidak ada tuntuntunan dari rasullullah

    Kita sebagai umat islam harus berpegang pada Al-quran dan as-sunnah, karena yg kita perbuat akan dimintai pertanggungjawab dihadapan Allah SWT jangan sampai kita menjadi orang yg merugi nantinya
    Bagi yg mau menjalan silahkan dengan keyakinannya bagi tidak menjalankan harus dihormati. Amalku-amalku, amalmu-amalmu. Amin

    Wassalam

  12. Dongkholi
    17 April, 2012 pukul 4:55 pm

    Terimakasih kepada semuanya yang telah memberi masukan yang berharga khususnya buat saya, tanpa disadari dengan banyaknya wawasan pencerahan diatas saya mengagumi orang-orang yang menjaankan maulid, tahlil dsb… dan merespon bahwa mereka sepertinya sedang di intimidasi bukan sedang di sadarkan dengan dakwahnya mereka yang anti bid’ah hasanah, karena terlihat kasar bahasanya dan cepat reaksinya dengan cepat pula meyimpulkan kebodohan bagi lawan bicaranya.

  13. Malik Abdullah
    10 Agustus, 2012 pukul 3:45 pm

    W.salam untuk Mas Dudi. Memang betul sekali apa yang dikatakan teman anda yang muallaf itu, Dia itu cerdas sehingga masuk Islam karena Islam adalah agama untuk orang2 yang ulil albab. Menghitung-hitung zikir sekian2 itu tak ada dasarnya sama sekali. Iut copy paste ajaran Hinduj yang out of date. Begitu pun dengan yasinan atau doa arwahan.. Anda tahu kan, bahwa Quran itu terdiri atas 114 Surat, bukan cuma Yasin saja. Banayknya ayat 6236 ayat, bukan cuma 83 ayat. Suyka yasinan itu adalah diskriminatif, seakan-akan Surat Yasin yang paling penting, katanya jantungnya Quran. Kalau surat2 lain? Kan tidak bisa dibilang ceker atau ekor! Semua surat diwahyukan itu memiliki tujuan, baik yang eksplisit maupun yang implisit.

  14. 18 September, 2012 pukul 7:30 am

    yg jadi permasalahan adalah porsi dalam pelaksanaannya(wajbnya alakadarnya,seremonialnya dibesar-besarkan),ingat dirilah, selagi ALLAH s.w.t masih kasih kesempan hidup “jalankan perintahnya tinggalkan larangannya”.(yg mati aja nda ribut malahan yg hidup bingung mau tahlil/tidak).

  15. 18 September, 2012 pukul 7:48 am

    apakah zakat bisa dikekuarkan setelah mati?

  16. achmad thpsin
    27 September, 2012 pukul 4:17 pm

    semoga allah selalu melimpahkaan rahmat kepada rosul dan keturunannya…kalau mereka yang menentang tahlil biarkan saja,,toh mereka ilmunya jg nggak lebih hebat dr wali songo

  17. joyobowo
    21 Januari, 2013 pukul 2:04 pm

    Apa ada jaminan kalo di undangin orang2 trus ga ada hisab???? Saya kok mikirnya ke arah ekonomi, logikanya orang yang meninggal itu sebelumnya sakit trus mengeluarkan biaya yang cukup besar, apa ga kasian melihat orang kena musibah malah suruh menjamu orang2,,mana hati nuranimu? seharusnya membantu,,ealah malah seneng nungguin besek, Tanya ke hati nuranimu yang paling dalam, anda mau tahlilan itu niatnya doain atau beseknya??? coba jawab jujur,,

    • 18 Juni, 2013 pukul 8:23 am

      Pak Joyobowo, bapak kan mau menghukumi tahlilan itu haram, makruh, mubah, atau sunnah.
      Nah kalau patokannya kasihan, tidak masuk sebagai pertimbangan; contoh orang solat pun jika sakit tetap wajib solat itu namanya kewajiban. Nah kalau tahlilan itu atau kenduri arwah bukanlah DIWAJIBKAN (DIHARUSKAN dlam bahasa bapak) menyediakan makanan tentu saja hukumnya boleh (kalau bapak mengatakan DIHARUSKAN) ini yg keliru.

      sekali lagi kenduri arwah tidak diwajibkan, yg tidak suka, janganlah MELARANG yg suka, janganlah MEWAJIBKAN… so lana a’maluna walakukm a’malukum.

  18. gewol
    21 Juni, 2013 pukul 10:43 am

    ho oh setuju gitu aja kok repot. mbah saya dulu juga tahlilan.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke supriyono Batalkan balasan