Beranda > Pendapat > Gus Dur: Susah Menghadapi Orang Salah Paham

Gus Dur: Susah Menghadapi Orang Salah Paham


Agama akan menjadi rahmat jika ia datang kepada manusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi kalau untuk kepentingan manusianya sendiri, dan bukan untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan, itu bukan agama namanya. Itu penggunaan agama yang salah. Benturan antar ”kebenaran” terjadi saat orang-orang berani mengambil-alih jabatan Tuhan, fungsi Tuhan, dan kerjaan Tuhan. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogratif Tuhan. Demikian refleksi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dituturkannya berulang-ulang kepada di Radio 68H, Jakarta. Berikut adalah petikan wawancaranya.

Keberagamaan umat Islam saat ini sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Apa yang salah menurut Gus Dur?

Saya rasa persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya—saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlus Sunnah, Syi’ah, atau apapun—adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan.

Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus?

Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta-merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan! Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.

Menentang pemerintahan yang zalim, yang menyengsarakan rakyat, apakah bisa disebut jihad, Gus?

Sekarang kita tetapkan dulu: pengertian jihad itu apa? Jihad adalah berperang di jalan Allah. Kalau tidak begitu, ya, berarti jihad dalam pengertian lain. Ada banyak macam jihad, yaitu jihad ashghar (terkecil), shâghîr (kecil), kabîr (besar), dan akbar (terbesar). Ayatullah Khomaini pernah mengatakan bahwa jihad ashghar, atau jihad yang terkecil adalah menegakkan keadilan. Tapi itu tergantung niat Anda juga.

Kalau niat Anda berjihad kecil hanya untuk merobohkan pemerintahan, hasilnya ya, merobohkan pemerintahan saja. Di sini kita bisa kiaskan dengan ungkapan Alquran yang menyebutkan itu tergantung pada orangnya. Kalau seseorang mau hijrah karena Allah dan utusan-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan utusan-Nya. Tapi kalau hijrahnya demi harta benda atau perempuan yang akan dinikahi, ya, hijrahnya akan sampai pada apa yang akan dia hijrai itu.

Sama saja dengan cara kita dalam menilai jihad. Luarnya bisa saja seperti jihad; tapi dalamnya kita nggak tahu. Makanya jangan gegabah dalam soal ini. Nggak gampang (menilainya, Red).

Bagaimana menentukan sikap Islam yang benar dalam kompleksitas kehidupan dunia ini?

Sikap Islam yang benar adalah sikap yang sesuai dengan ajaran pokok Islam. Ajaran pokok Islam ialah: Tuhan itu satu. Jadi kita dituntut untuk mematuhi ajaran Tuhan, saling kasih mengasihi, dan sebagainya. Kita harus saling kasih mengasihi antarmanusia. Kalau mau lebih disempurnakan, ya silahkan. Itu kan urusan masing-masing. Tapi kalau ada orang yang berpendirian lain, ya nggak apa-apa juga.

Mana yang lebih baik antara undang-undang buatan manusia dengan apa yang sering disebut ”hukum Tuhan” oleh sebagian aktivis Islam selama ini?

Yang perlu dilihat itu segi pemakaiannya, jangan bikinannya. Quran itu memang bikinan Tuhan, dan kita pakai pada saatnya. Sedangkan undang-undang dasar itu buatan manusia, dan kita pakai juga pada tempatnya. Dalam kehidupan bernegara, kita pakai undang-undang dasar. Dalam kehidupan bermasyarakat kita menggunakan undang-undang Alqur’an. Begitu saja kok nggak tahu?!

Nah, merupakan kewajiban pemimpin Islam untuk menjelaskan itu supaya jangan ada kekeliruan. Undang-undang dasar itu memang buatan manusia; jadi kapan saja mau diubah, ya bisa saja. Kalau Alquran, penafsirannyalah yang dari waktu ke waktu berubah; dan itu juga diakui oleh Alquran sendiri.

Bagaimana Gus Dur menafsirkan ungkapan Alquran innaddîna ‘indalLâhil islâm?

Artinya begini: sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Tapi itu kan katanya orang Islam, toh?! Ya sudah, selesai! Itu kan juga kata kitab sucinya orang Islam. Makanya, kalau orang Islam bilang begitu, ya pantas-pantas saja. Sama saja ketika agama lain mengatakan “Ikutilah aku!” Itu kata Yesus. Nah, soalnya tinggal kita ikuti atau tidak. Itu saja.

Islam seperti apa yang paling utama bagi Gus Dur?

Yang paling utama bukan Islam golongan, tapi orang Islam. Ingat loh, antara institusi agama dengan manusianya itu berbeda. Perbedaannya sangat jauh; ada yang ikhlas, ada yang cari pangkat, cari kedudukan, cari kekayaan, dan lain sebagainya. Jadi, sangat susah menilai dan mengatakan Islam mana yang paling baik. Saya saja nggak berani ngakui kalau Islam saya yang paling benar. Sebisa-bisanya saya jalani saja.

Lalu bagaimana Gus Dur mendefenisikan istilah kafir?

Mengenai pengertian kafir, muballigh kayak Yusril Ihza Mahendra saja–menteri kita itu—nggak tahu. Dulu dia pernah bilang, “Saya kecewa pada Gus Dur yang terlalu dekat dengan orang kristen dan Yahudi. Padahal, Alquran mengatakan, tandanya muslim yang baik adalah asyiddâ’u`‘alal kuffâr (tegas terhadap orang-orang kafir, Red).” Terus saya balik tanya, “Yang kafir itu siapa?”

Menurut Alquran, orang Kristen dan Yahudi itu bukan kafir, tapi digolongkan sebagai ahlul kitab. Yang dibilang kafir oleh Alquran adalah ”orang-orang musyrik Mekkah, orang yang syirik, politeis Mekkah”. Sementara di dalam fikih, orang yang tidak beragama Islam itu juga disebut kafir. Itu kan beda lagi. Jadi, kita jelaskan dulu, istilah mana yang kita pakai.

Banyak sekali soal khilafiah di dalam masyarakat dalam menafsirkan agama yang satu sekalipun. Apa kriteria perbedaan yang membawa rahmat itu, Gus?

Dulu, ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU soal tarawih dua puluh tiga rekaat atau sebelas. Kan begitu?! Semua itu sama-sama boleh. Jadi, jangan ribut hanya karena masalah seperti itu. Yang harus kita selesaikan adalah masalah-masalah pokok seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan sebagainya. Tapi itu malah yang nggak pernah diurusi. Malah yang diributkan tentang shalatnya bagaimana; sebelas rekaat atau berapa. Itu kan bukan masalah yang serius?!

Bagaimana membuat Islam sebagai rahmat, bukan malah mendatangkan laknat?

Agama akan menjadi rahmat jika ia datang kepada manusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi kalau untuk kepentingan manusianya sendiri, dan bukan untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan, itu bukan agama namanya. Itu penggunaan agama yang salah. Contohnya, perlunya agama terlibat langsung dalam isu lingkungan hidup. Itu sangat jelas, karena lingkungan hidup sangat dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan.

Isu itu merupakan kebaikan yang menyangkut langsung tentang kemaslahatan hidup. Makanya, di sini kita rumuskan dengan nama keyakinan. Kalau keyakinan itu untuk kemaslahatan semua, berarti itu agama. Tapi kalau tidak, ya namanya kepentingan kelompok. Jadi harus dibedakan antara kepentingan agama secara umum dengan kepentingan kelompok.

Sekarang ini agama tampaknya hadir kembali ke ruang publik dalam bentuk partai-partai dan kelompok-kelompok sektarian. Itu makin memperkental identitas kelompok. Bagaimana tanggapan Gus Dur?

Ya, nggak apa-apa. Disebut atau tidak agamanya, sama saja. Yang penting agendanya untuk kepentingan kemanusiaan secara umum. Yang menjadi pokok, untuk kepentingan siapa dia bekerja? Kalau untuk kepentingan kelompok yang bersangkutan, itu namanya bukan agama. Bagi saya, agama itu harus hadir untuk semua golongan.

Di Alquran juga ada pengertian mengenai hal ini. Tanda-tanda atau bukti-bukti kehadiran Tuhan, adalah jika yang bersangkutan mengharapkan kerelaan Tuhan, bukan untuk dirinya sendiri. Kalau begitu, ya bukan juga demi mengharap masuk surga. Tapi karena kerelaan. Kemudian untuk kebahagiaan akhirat nanti.

Tanda-tanda kebesaran Allah itu ada dimana-mana; ada yang secara lafzi atau kata-kata, dan ada yang secara keadaan. Laqad kâna lakum fî rasûlilLâhi uswatun hasanah, liman kâna yarjulLâha wa yaumil âkhir wa dzakaralLâha katsîra (Rasulullah telah dijadikan panutan yang baik bagi orang-orang yang berharap (keridaan) Allah dan hari akhir dan mereka yang banyak-banyak mengingat Allah, Red). Itu kata Alquran.

Mengapa ada kelompok Islam yang ingin ajaran-ajaran spesifik Islam diatur dalam hukum negara, seperti kewajiban berjilbab dan lain-lain?

Pemikiran seperti itu sebetulnya bersifat defensif. Artinya, mereka takut kalau Islam hilang dari muka bumi. Itu namanya defensif; pake takut-takutan. Sebenarnya, nggak perlu ada rasa ketakutan seperti itu. Mestinya, hanya urusan-urusan kemanusiaan yang perlu kita pegang. Adapun soal caranya, terserah masing-masing saja. Jadi orang Islam nggak perlu takut (Islam lenyap, Red).

Coba saja bayangkan: dulu Islam berasal dari komunitas yang sangat kecil. Tapi sekarang, Islam jadi agama dunia. Agama Buddha dulu juga demikian, Kristen juga demikian. Orang Kristen dulu dimakan macan; nggak bisa apa-apa. Sama rajanya diadu dengan tangan kosong, bahkan diadu dengan singa. Toh sekarang agama Kristen jadi agama yang merdeka di mana-mana.

Begitu juga dengan Islam. Jadi, tidak usah diambil pusing. Di negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang katanya tak bertuhan, agama Konghucu atau Buddha, dalam kenyataannya tetap ada dan berkembang walau secara sembunyi-sembunyi.

Mengapa sering terjadi benturan klaim kebenaran antar agama-agama, bahkan dalam satu rumpun agama yang sama?

Karena kita berani-beraninya mengambil alih jabatan Tuhan, fungsinya Tuhan, kerjaannya Tuhan. Emangnya kita siapa, kok berani-beraninya?! Nggak ada yang lebih tinggi dari pada yang lain. Yang lebih tinggi dan lebih besar dari segalanya hanya Tuhan

Bagaimana Gus Dur memaknai ajakan berislam secara kâffah atau total?

Islam kâffah itu maksudnya adalah Islam yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang utuh. Jadi kalimat udkhulû fis silmi kâffah itu bukan menyangkut ajaran Islamnya, tapi soal masuknya yang kâffah. Artinya, masuk ke sana dalam perdamaian yang total. Kalau dengan kebencian atau apalah, itu nggak total namanya.

Ada yang bilang, yang tidak sudi menjalankan hukum-hukum Islam pada level negara, tidak kâffah Islamnya. Mereka dianggap kafir. Pandangan Gus Dur?

Ada hal-hal yang prinsipil dalam Islam, dan tidak semuanya lantas pantas dikafirkan. Alquran juga menyatakan bahwa “pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian, dan telah Kusempurnakan pemberian nikmat-Ku kepada kalian, dan Kujadikan Islam sebagai agama kalian”. Nah, kesempurnaan di situ menyangkut hal-hal yang prinsipil. Begitulah pemahamannya. Jangan kita salah paham terus.

Ada cerita tentang orang yang suka salah paham, persis seperti jemaah haji Indonesia yang bingung ketika di Mekkah. Soalnya, setiap nyegat bis, kernetnya selalu teriak-teriak: “Haram…! Haram..!” Akhirnya, dia tak mau naik, karena takut dibilang haram. Lalu dia nungguin bis sampai sore sampai mendengar yang bilang “halal…! halal…!” Kan susah menghadapi orang yang suka salah paham gitu?! Kata ”Haram” itu dia pahami sebagai sesuatu yang dilarang agama. Padahal, maksudnya adalah jurusan Masjidil Haram, hehe.

Ada kesan umat Islam memusuhi seni rupa. Jangankan menggambar sosok nabi, menggambar makhluk bernyawa saja dikecam. Bagaiman Islam memandang seni rupa, Gus?

Dulu ada KH. Ahmad Mutamakkin dari Pati. Dia dituduh para ulama fikih di daerahnya telah mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Kenapa? Dia membiarkan adanya gambar gajah dan ular di tembok masjid. Lalu tuduhan bertambah: dia anti Islam, karena suka menonton wayang kulit lakon Dewa Ruci. Kata yang menuduhnya: orang Islam kok percaya dewa-dewi?!

Memangnya kenapa; untuk nonton saja nggak boleh?! Dari sana dia kan bisa mengambil teori-teori yang dia tidak cocok. Untuk itu, kita ini jangan gampang-gampang bereaksi, apalagi menganggap orang lain itu kafir.

Bagaimana hubungan Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia selama ini, Gus?

Antara agama Buddha dan Islam di Nusantara, banyak sekali persamaan-persamaannya. Di antaranya ketika Islam (di Indonesia, dan yang lebih khusus Islam tradisional), disebarkan lewat tradisi. Di antaranya tradisi syair yang ditempuh Sunan Kalijaga. Tembangnya sampai sekarang masih terkenal, yaitu tembang Lir Ilir. Persamaan lainnya adalah dalam hal penjagaan tradisi. Agama Islam dan Buddha sama-sama mengagungkan tradisi unggah-ungguh antara yang muda dengan yang lebih tua. Dalam hal ini, budaya-budaya timur sangat sinkron dengan kedua agama itu.

Tapi permasalahnnya, di level nasional banyak permasalahan yang tidak sepadan antara budaya-budaya timur—dalam artian budaya kerakyatan—dengan budaya Indonesia di tingkat nasional yang tampak kebarat-baratan. Misalanya masalah aurat. Bagi masyarakat pedasaan, jika berpakaian sudah rapi dengan kerudung, walau menggunakan kerudung yang transparan, itu dianggap sudah menutup aurat. Tetapi di level nasional, ada yang mengatakan itu masih belum mencapai batas maksimal penutupan aurat. Di sini timbul masalah.

Sama seperti kasus ciuman. Bagi orang-orang di level nasional, cium pipi itu sudah merupakan hal yang wajar. Tapi bagi masyarakat pedesaan, itu hal yang tidak wajar, karena salaman dengan lawan jenis saja sudah dianggap fitnah. Lalu bagaimana agama menjembatani tradisi-tradisi yang berbeda antara tradisi yang di atas dengan tradisi yang di bawah ini?

Caranya adalah dengan menjamin hak-hak orang untuk melakukan penafsiran. Jangan asal berbeda sedikit dimarahi. Gendeng, apa?! Ya, memang kita nggak bisa memaksakan hal yang lampau dengan yang sekarang, bukan hanya soal yang bawah dengan yang atas. Zamannya mbah saya dulu, pakai sarung adalah harus. Dulu, kaidah NU adalah: man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (siapa yang menyerupai sebuah kaum, dia termasuk kaum itu). Kalau pakai celana, berarti orang Barat, dong! Begitu, toh?! Tapi, sekarang kan sudah lain. Semua itu perlu peran agama untuk terus-menerus mendialogkan; mempersoalkan terus tanpa mengganggu undang-undang.

Apa kuncinya agar usaha dan doa kita terkabul, Gus?

Kuncinya, ya ikhlas. Kalau nggak terkabul, artinya Anda nggak ikhlas. Simpel saja. Makanya Ibnu Atha’ al-Iskandari penulis al- Hikam berkata, idfin wujûdaka fî ’ardlil khumûl (kuburkan dirimu dalam bumi kekosongan, Red). Maksudnya, kita harus benar-benar kosong supaya tak punya keinginan apa-apa. Susahnya, orang berdoa itu kan banyak pengennya. Ini celakanya. Makanya, kalau kita berdoa, jangan minta apa-apa; terserah Tuhan sajalah. Pokoknya yang terbaik menurut Tuhan saja.

Apa gunanya kehendak dan doa jika segalanya sudah ditentukan Tuhan?

Dalam pandangan Islam, manusia boleh menghendaki apa saja, tetapi yang menentukan jawaban ”ya” atau ”tidak”, ya Tuhan. Ungkapan yang dikenal yaitu, “AlLâhu yurîd, wan nâs yurîd, walLâhu fa`âllun limâ yurîd” (Allah berkehendak, manusia juga berkehendak, tetapi hanya Allah yang mewujudkan apa yang Ia kehendaki). Jadi, prinsip berdoa adalah meminta kepada Tuhan supaya Dia mengabulkan.
sumber tulisan

sumber foto

Kategori:Pendapat
  1. 9 Mei, 2007 pukul 3:46 pm

    Sebentar..amankan posisi dulu
    Sekali2 boleh kan omong PERTAMAX 😀

  2. 9 Mei, 2007 pukul 4:07 pm

    Tanggapan atas beberapa pernyataan Gus Dur:
    Setuju:

    Sama saja dengan cara kita dalam menilai jihad. Luarnya bisa saja seperti jihad; tapi dalamnya kita nggak tahu. Makanya jangan gegabah dalam soal ini. Nggak gampang

    Gimana ya? Saya setuju dengan pernyataan tsb. Semua kan hanya Alloh yang tahu, kalau sebatas menyampaikan pendapat pribadi sih boleh, tetapi kalau sampai memvonis jihad – tdk jihad, kafir-tdk kafir sepertinya itu sdh sangat melanggar otoritas manusia sebagai makhluk.
    Tetapi memang pemvonisan seperti itu sangat wajar terjadi di antara manusia karena pemvonisan berawal dari suatu penilaian, sedangkan penilaian berawal dari suatu pendapat. Untuk mengerem laju pendapat menjadi pemvonisan memang sangat sulit.

    Memangnya kenapa; untuk nonton saja nggak boleh?! Dari sana dia kan bisa mengambil teori-teori yang dia tidak cocok. Untuk itu, kita ini jangan gampang-gampang bereaksi, apalagi menganggap orang lain itu kafir.

    Inilah yang sangat sering terjadi di masyarakat. Seringkali orang masih melakukan suatu penilaian secara subyektif. Mereka sering hanya menilai SIAPA yang membawa pesan, bukannya APA yang membawa pesan.
    Seperti tulisan Mr. Kurt terdahulu yg intinya alam juga guru kita. Bukankah kita tetap bisa belajar…mengambil nilai2 dari alam semesta..dari pohon, batu, air sebagai sesuatu yang BUKAN MANUSIA?
    Bukankah Alloh tidak hanya menurunkan ayat2 Kauliyah (Al Qurán dan kitab lain) saja? Alloh juga menciptakan ayat2 KAuniyah (alam semsta) sebagai sumber dan tempat kita untuk belajar.
    Saya ingat salah satu lirik tembang Macapat (lagu Jawa), cuma lupa jenis tembangnya (Megatruh atau Dandhanggula ya?Atau yg lain?). Bunyi lirik tsb kurang lebih sbb:
    “Nadyan metu soko wong kang sudra pepeki, namung becik lé muruk iku pantes siro enggo”
    Arti sederhana:
    “Walau keluar (diajarkan) oleh orang sudra (kasta rendah: budaya Hindu), tetapi jika ajarannya baik maka pantas kita ambil/terima”

    Kurang setuju:

    Ajaran pokok Islam ialah: Tuhan itu satu

    Saya hanya KURANG setuju saja kok. Pendapat saya…
    Memang benar inti ajaran Islam adalah Tuhan itu SATU, tetapi yang menjadi masalah adalah SIAPAKAH Tuhan itu?
    Dan hal inilah yang sering memicu perdebatan..permasalahan..bahkan perpecahan jika semua umat/golongan saling egois

    Contohnya:
    Saya hanya ada satu sepeda di parkiran, tetapi masalahnya adalah … YANG MANA SEPEDA SAYA?
    *Maaf kalau terkesan saya menganalogikan Tuhan dengan sepeda*

    Buat Mr. Kurt:
    Maaf komentarnya terlalu panjang. Artikel panjang perlu ditanggapi dengan komentar panjang juga kan?

    ——–
    waaaaauuu beginilah sang penjelas jika berkomentar….. ini menarik analogi tentang Tuhan bukan pada sepedanya tetapi pada eksistensinya. SEbagai ahli matematika, saya juga pengen bertanya, apa jawab dari pertanyaan YANG MANA SPEDA SAYA? (tapi ini gak jadi ya pertanyaan ini) seperti kata Iblis, manusia harus belajar dari kesalahan 🙂 jadi tidak saya hapus…

    Barangkali bisakah dianalogikan maksud sampean tentang speda itu… Atau maksud sampean mungkin, “Tuhan itu Satu tetapi yang manakah Tuhan satu itu?” ini mungkin lebih gamblang. Sekedar berargumen, bahwa Tuhan yang saya maksud adalah Tuhan yang mengenalkan DIRINYA padaku. Di sini Tuhan berarti sebagai Subyek sayalah sebagai obyek. Jadi mengapa bertanya tentang Tuhan padahal Kita bagian dariNya. Sulit menunjuk itu, ini atau di sana atau disini….. 🙂

  3. 9 Mei, 2007 pukul 5:52 pm

    Radikalisme ato yang disebut kemudian mengambil alih tugas Tuhan adalah—terkadang– bentuk dari kekecewaan orang per orang terhadap pihak lain yang sebenarnya punya power sebagai decision maker. Jadi bukankah seharusnya mereka yang punya power itu musti sensitif terhadap arus bawah?
    ———
    yaa benar bahwa pelajaran dari kesemrawutan itu sebenarnya sederhana, seperti yang kamu anjurkan.. saya setuju, bahwa setiap gejolak jiwa yang berasal dari arus bawah (maksudnya bawah apa saja, kan? 🙂 memang harus disikapi dengan sensitif. sesensitif mungkin… Sebab bukankah argumen sulit berkembang jika arus bawah sudah menyerang? Alih-alih mencoba mengarahkan yang terbaik, argumen yang kuat, ee justeru disanalah klaim kafir lahir.. sama juga arus bawah jiwa tak di urus akan membuat terberangus…. jadi benar sulit memahami orang yang salah paham…

  4. 9 Mei, 2007 pukul 9:52 pm

    Ralat

    Saya hanya ada satu sepeda di parkiran, tetapi masalahnya adalah … YANG MANA SEPEDA SAYA?

    Setelah saya baca lagi, sepertinya khusus kalimat tsb saya tarik dari peredaran karena saya rasa contoh tsb tidak pas.
    Tetapi pertanyaan “SIAPAKAH sebenarnya TUHAN ITU?” tidak saya tarik kok…hanya contoh analoginya saja yang saya tarik
    Pertanyaan saya tsb berdasarkan banyaknya klaim dari berbagai pihak tentang Tuhan sehingga “benarkah Tuhan itu hanya satu?” , lalu kalau memang benar Tuhan hanya satu maka Tuhan yg manakah yang benar2 Tuhan?

    ————–
    biar jangan salah paham saya pura2 mengerti… dan mengargumeni argumen yang top ini…
    “kata benarkah Tuhan itu hanya satu?” huuu ini pertanyaan matematis sekali…
    saya mau tanya satu hal, “satu” itu apa sih? 2-1, 3:3 atau 1 x 1? atau satu itu adalah AHAD dalam bahasa Arabnya… jadi TUhan itu satu adalah ALLAHU AHAD ? Sebab informasi bahwa satu itu diterjemahkan dari bahasa Arab (firman Allah). Maka bisa jadi AHAD tidak mesti diartikan satu, bisa Esa, bisa Tunggal bisa…… apalagi…

  5. 10 Mei, 2007 pukul 4:28 pm
  6. awi
    10 Mei, 2007 pukul 9:24 pm

    Gus Dur apa kabarnya sekarang? dia masih eksis ya. saya bukan fans nya Gus Dur

  7. awi
    10 Mei, 2007 pukul 9:25 pm

    Gus Dur apa kabarnya sekarang? dia masih eksis ya. saya bukan fans nya Gus Dur, btw thanks udah posting tentang dia.

  8. 10 Mei, 2007 pukul 10:48 pm

    Gus Dur itu siapa sih???

  9. 11 Mei, 2007 pukul 1:19 pm

    @awi Gus Dur kabarnya ya begitu2 aja.. konon, terserang stroke 4 kali tapi masih diberi umur…

    @arul, saya juga tidak mengenal Gus Dur dari mana asalnya bahkan tak pernah diingat… dan tidak tertarik apakah darah merah/biru.. kyai atau bukan…… yang membuat tertarik versi saya adalah kesederhanaan dan kemauan untuk bisa bergaul dengan everyone tanpa pilih2… juga tidak kecil sumbangan keberanian dalam berpikir dan berinteraksi dengan dunia di luar dirinya…

  10. 11 Mei, 2007 pukul 7:26 pm

    bikin “tertarik”??? gak… ah malah bikin muak aja komentarnya tdak dijaga…

    ———-
    khusus untuk saya tertarik, makanya diposting di sini…. komentar yang tadi itu sebenarnya satire saja… maaf jika tidak suka.. tapi sekarang dah dirubah tuh.. makasih..

  11. 11 Mei, 2007 pukul 11:59 pm

    oo…. maksudnya itu toh ttg komentar…. maaf tadi sebenarnya saya mengkritisi Gus Dur yang selalu memberikan komentar kontorversial yang tidak dijaga omongannya….

    tapi saya tidak bermaksud menyinggung anda (tapi mungkin ada benarnya juga sih) … hehehehe tapi gak apa2 deh…. semoga menenangkan aja….
    terima kasih sudah berkunjung ke blog ku

  12. 12 Mei, 2007 pukul 12:10 am

    oia pengen diskusi banyak dih dengan bapak ttg Gus Dur

  13. aLe
    12 Mei, 2007 pukul 2:05 am

    Kata gusdur, Gitu Saja kok Repot™ 😉

  14. 12 Mei, 2007 pukul 11:20 am

    kita gak boleh gegabah -> setuju. tapi kita juga gak boleh tidak melakukan apa2. kita harus berusaha…..

    lam kenal ya pak.

  15. passya
    12 Mei, 2007 pukul 12:34 pm

    *baca sampe tuntas, maklum fans pemikiran2 gus dur*

  16. 12 Mei, 2007 pukul 4:03 pm

    @arul : boleh kita berdiskusi ttg. apa saja sayapun tidak begitu mengenal secara kasat mata.. hanya pemikiran2nya yang menarik.

    @aLe : kata ale menjawab arul kali, Gusdur aja kok repot ….. (maksudnya memahami pemikirannya kan?)

    @ndarualqaz : Ge(gabah) memang gak enak mesti dijadikan beras dulu. itupun mesti ada usaha terus tuk mendapatkan beras abis mendaptkannya mesti ditanak dulu, mesti beli gas /minyak dulu, mesti dipesusi (dicucui) berasnya dulu baru jadi liwet mateng.. itupun mesti ada lauk2 hahaha ternyata gegabah itu jika dimakan sangat berbahaya … salam kenal juga mas webnya barusan aku lirik menarik, menggelitik, dan menggeoda tuk selaludi kilik2

    @passa: waah makasih banyak seleb blog berkenan beranjang sana ke kebun hijau ini… mangga dipun nikmati sajianipun teng riki. sering2 mampir ya mas… silahkan dinikmati menu masakan gus dur di radio 68Hnya…

  17. 13 Mei, 2007 pukul 11:56 pm

    Gus Dur ?
    Ahhh, banyak pandangan dan penilaian terhadap “pemikiran” beliau. Maaf kata pemikiran saya beri tanda kutip walau saya akui tetap memancing kontroversi penilaian.
    Yang tidak suka tetap tidak suka apapun pemikiran beliau, dan saya tetap respek kepada mereka.
    Itu artinya, saya pengagum berat Gus Dur.
    Gitu aja koq repot 😀

  18. 14 Mei, 2007 pukul 2:39 pm

    @cakmoki
    pemikiran dikasih tanda petik berarti pikiran yang melahirkan berbagai macam sudut.. dengan kterlibatan otak kanan-kiri… sehingga tak kaku, tak jemu dan tak-tik-tuk, betul gak cak? halah…

  19. 14 Mei, 2007 pukul 2:58 pm

    ya ya ya saya salah Gus Dur paham

  20. mei
    14 Mei, 2007 pukul 4:00 pm

    aku membaca agama “islam” dalam pandangan Gus Dur khok jadi kesannya damai ya??? Semoga memang begitulah “Islam”, dan bukan seperti “pengrusak hak-hak orang” dengan berbajukan jubah putih seperti yang aku lihat di TV.

    damai itu selalu lebih indah bukan mas?? Hidup Gus Dur=)

  21. 14 Mei, 2007 pukul 6:47 pm

    @kangguru
    ya ya ya, siapa yang salah… gak penting…. setuju dan tidak setuju juga gak penting… trus apanya yang penting… yang penting enjoy ajaa …

    @mei
    rupanya memang benar, para penyampai “islam” yang damai-damai itulah yang kadang menjadi masalah di msyarakat lain. Konon islam itu searti dengan kata ‘damai’… jadi kalau menyampaikan islam gak damai?

  22. Heri Setiawan
    17 Mei, 2007 pukul 3:46 am

    saya pernah mendapatkan sedikit penjelasan ttg apa itu islam,

    Islam berasal dari kata:
    islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah), istislama (tunduk secara total kepada Allah), salaamah atau saliim (suci dan bersih), salaam (selamat sejahtera), dan silm (tenang dan damai).

    Kebanyakan manusia mengartikannya sebagai “selamat” atau “damai”, padahal untuk mendapatkan keselamatan dan kedamaian itu, tentunya manusia harus ikhlas, tunduk dan patuh terlebih dahulu dalam menjalankan syariat.

  23. 24 Desember, 2007 pukul 10:36 pm

    kalau ada yang mengidentikkan Islam = Arab, berarti yang di luar itu ya non-Islam, cenderung kafir, dan bahkan sesat. salah satu tugas ulama yang utama menurut saya ya mendefinisikan lagi apa itu Islam, apa itu Arab. sebelumnya mungkin jelaskan dulu apa itu iman, sebelum bisa menjadi Islam. dengan harapan Islam lebih terlihat pesannya, bukan asal-usul para pembawanya. sluman, slumun, slamet, dongane wong slamet… :mrgreen:

    >>> hahaha.. sluman slumun kaya siluman dong heheh… 🙂 bahasa Jawa inggil ya pak?
    Islam=Arab itukan tafsiran orang2 yang “baru belajar” agama. Waktu SD-SMP dulu saya mengatakan seperti itu… tapi yaa sesudah pelajaran agama digenjot terus.. *halah blagu* kemudian saya diajari sejarah terbukalah kalau Islam itu bukan Arab saja… bahkan di Arab sendiri ada Abu Jahal perusak agama saat Nabi hidup,… nah generasinya hingga kini masih bercokol dan berkembang ke luar Arab sekalipun… heheh 🙂

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke awi Batalkan balasan