Beranda > Celotehan, Pendapat > Mudahnya Menuai “Hakekat”

Mudahnya Menuai “Hakekat”

Nyammmm! Segarnya es krimmmmADA kesan bahwa mendapatkan hakekat dari suatu perjalanan si hamba menuju Tuhan, merupakan pekerjaan yang sulit. Bahkan melelahkan. Apakah benar sarinya ibadah adalah hakekat itu sendiri. Dalam bahasa lain, apakah dengan menjalani ajaran syariat yang diwariskan dan diajarkan para Nabi otomatis memperoleh hakekat sekaligus?

Itulah hal yang mengganjal pikiran aneh saya yang selama ini mengedepankan cara beribadah sebagai bagian dari ritual (tarekat). Sebagai hamba yang doif (lemah) tentunya ingin memperoleh suatu hakekat sebagai bagian dari upaya menuju padaNya. Namun kendala di sana-sini banyak yang menggelayuti dan memberati langkah itu. Lantas pikiran aneh itu berterori bahwa hakekat itu semudah menikmati es krim!

Sambil menunggu postingan dan melihat-lihat hal yang berkaitan dengan hakekat veri benbego, versi kang Panu, dan ngintip hakekat versi br4instorm, danalingga, deKing berfilsafat matematika , sang legenda juga orang ini, ini dan itu. Juga yang lagi bertanya pada kepasrahan dengan Tuhan. Dan yang paling menarik adalah sebuah puisi tentang mempertanyakan ke-Tahu-an kita.

Kira-kira itulah yang ingin saya posting di sini, bahwa mendapatkan hakekat itu semudah memakan eskrim, makan pisang, bahkan jeruk sekalipun. Sehingga mengapa susah-susah mencari hakekat padahal hakekat yang tersembunyi itu merupakan kausalitas dari apa yang ada di hadapan kita, tanpa harus mengerti makna dan ideologi hakekat itu sendiri.

Saat kita makan es krim, apakah kita harus mengetahui hakekat dari es krim itu sendiri? saya kira tidak! Karena ada sejuta bahkan milyaran pertanyaan dari es krim itu sendiri: misalnya siapa pembuatnya, berapa orang yang terlibat dalam pembuatan, apa bahan-bahannya, bagaimana bahan itu diperoleh, berapa jumlah bahan dan bagaimana nilai kimiawinya, jam berapa membuat, bagaimana kondisi di pembuat itu, apa ideologi pembuatnya, di mana mereka masing-masing tinggal, jam berapa mulai proses dan selesainya, di mana bahan pembuat es krim itu dijualnya, siapa penjualnya, berapa dibelinya; apa kandungan kimiawi dari es krim itu, dst………J Yang kita nikmati adalah padahal sebuah es krim dan itu sangat menyegarkan. Di dalamnya ada vitamin dan gizi yang menyegarkan dan menyehatkan badan kita.

Demikian juga jika kita makan pisang atau jeruk. Kita tidak perlu mengerti hakekat buah pisang/jeruk itu sendiri: siapa penanam buah pisang itu, dimana tinggalnya, jam berapa ditanam dan jam berapa ditunai, berapa luas kebun itu, berapa jumlah jeruk/pisang saat di panen, bagaimana kehidupan si penanam pisang, apa yang dilakukan selama merawat buah pisang itu, berapa lama ia menanam, dan apakah isi dan gizi kandungan dari pisang itu. Dan masih jutaan pertanyaan dibuat untuk memahami hakekat sebuah pisang yang akan di lahap di tangan kita.

Saya kira, percuma dan bikin capek memahami hakekat buah pisang yang akan kita makan itu. Kecuali bagi yang nekad menghabiskan umurnya. Karenanya, secara singkat dapat di katakan bahwa, hakekat itu telah masuk ke dalam syareat itu sendiri. Sama halnya, vitamin C sudah include dalam buah pisang dan Jeruk itu sendiri. Tinggal kita makan (syariat) maka otomatis hakekat (kandungan manfaat) itu akan dirasakan dan dicerna secara otomatis ke dalam siklus makanan yang ada dalam tubuh.

Sama halnya, kita pun tidak perlu mengetahui bagaiaman proses vitaminosis dalam tubuh itu diketahui. Si tubuh secara otomatis memproses hakekat (sari makanan) itu dan tiba-tiba tubuh kita sehat walafiat, s egar bugar dan bertambah besar, sehat cantik dan ganteng. 😀

Demikian itu sama sama halnya dengan ibadah. Shalat, misalnya. Dengan mengerjakannya, ia sudah mengandung makna hakekat shalat. Karena ada milyaran pertanyaan misteri di seputar shalat itu sendiri. Silahkan bagi para filosof membahasnya. Zakat, puasa, haji dan syariat lainnya. Saya kira Tuhan sudah menginkludkan hakekat ibadah itu yang saya kira sama persis dengan Tuhan menciptakan pisang .

Tinggal dimakan dan rasakan manfaatnya: segar menyegarkan. Demikian pula degnan seremonial (ibadah) tinggal dilaksanakan, dan manfaatnya akan dirasakan sendiri.

Jika kemudian tidak merasakan manfaatnya, barangkali buah pisang yang dimakan atau jeruk itu sendiri beracun, mengandung kuman, terkontaminasi atau apalah istilahnya. Atau memang kita tidak suka memakan jeruk atau pisang karena sakit gigi, sakit tenggorokan atau memang alergi dengan pisang yang nikmat itu. Bahkan boleh jadi, ada yang beranggapan mengapa tidak suka pisang dan jeruk juga es krim karena dianggap makanan ikan teri yang bikin alergi. 🙂

Bagi para pencari hakekat yang belum dapat-dapat, maka saya kira dengan gambaran logika di atas, umur kita tidak akan cukup untuk memahami semua hakekat bahkan dari sebuah pisang di tangan kita sekalipun. Jadi, masihkah tertarik mengejar hakikat tanpa syariat?? Ah itu mah terserah masing-masing bae lah… wallahu a’lam.

—– up date —-

Tulisan ini bukan berarti  menolak pencarian hakekat dalam ranah filasfat dalam arti umum. Wong santri kok sok, berfilsafat. Namun hakekat yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang sudah terinklud dalam ibadah. Milsanya shalat. Para sahabat Rasulullah saw hanya diajak untuk mengikuti saja proses ritual shalat. Tidak ada seminar, tanya jawab atau hal-hal lainnya. Jadi sekali lagi mohon maaf kalau banyak bertentangan dengan logika para komentator yang ahli dalam dunia epistemologi.

Kategori:Celotehan, Pendapat
  1. Syahrudin
    19 November, 2007 pukul 1:20 pm

    Saya rasa itu benar banget pak, Allah menciptakan bumi dan isinya untuk di olah dan di manfaatkan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Tidak perlu kita berfikir tentang bagaimana caranya sesuatu diciptakan, tapi marilah kita fikirkan bagaimana caranya segala sesuatu itu dapat bermanfaat bagi kehidupan kita…..Salam…..

    >>Syahruddin
    segala sesuatu bermanfaat .. kata kunci yang bagus.. 🙂

  2. 19 November, 2007 pukul 1:49 pm

    “Bagi mencari hakekat yang tidak dapat-dapat, maka saya kira dengan gambaran logika di atas, umur kita tidak akan cukup untuk memahami semua hakekat bahkan dari sebuah pisang di tangan kita sekalipun. Jadi, masihkah tertarik mengejar hakikat tanpa syariat?? Ah itu mah terserah masing-masing bae lah… J wallahu a’lam.”

    owww…….kayak kue….. :mrgreen:
    lam kenal 😆

  3. 19 November, 2007 pukul 2:42 pm

    Just going with the flow nggih pak.
    Ndak perlu menjelaskan segala hal di dunia ini namun justru menjalani dan merasakannya 😀

    enggih, flow it and feel it

  4. 19 November, 2007 pukul 3:01 pm

    Benar, Mas Kurt. Seperti lezatnya makanan yang kita lahap. Kok susah ya untuk ungkapin lezatnya itu seperti apa.

    🙂 anehnya lagi kelezatan kemarin itu lupa, sehingga kita menikmati lagi…

  5. 19 November, 2007 pukul 4:08 pm

    Bagaimana bila lebih mengedepankan syariah, bahkan sampai ingin menerapkan syaroah itu dalam kehidupan bernegara?

    Apa yang mas kurt imajinasikan mencakup hal demikian?

    *he he he serius nih*

    🙂 *mode serius error*
    imaginasi saya justru mengarah pada syariah sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Rekayasa, politik, taktik atau kekuasaan yang dipaksakan, itu sepertinya bagaimana mengalirkan air dari bawah ke atas… hmm aku gak mau bikin susah …. 🙂

  6. 19 November, 2007 pukul 5:11 pm

    assalamualaikum
    kalau saya membayangkan hakekat itu seperti kartu Henpon.
    sebuah henpon walaupun mahal kalau ndak punya kartu, ndak bisa konek. kehilangan fungsi.
    Henpon butut tapi punya kartu, bisa konek.
    Dan kekuatan hakekat seperti pulsa henpon.
    semakin banyak isi pulsa semakin banyak koneksi yang bisa dibuat.
    Pertanyaan nya bagaimana agar pulsa henpon itu selalu terisi penuh?

    🙂 wa’alaikum salam
    wak Abdul punya teori manis: “semakin banyak isi pulsa semakin banyak koneksi yang bisa dibuat.” .

  7. 19 November, 2007 pukul 6:40 pm

    Pertama mohon maaf nich Mr. Kurt, perasaan saya tidak pernah menulis tentang asal mula danau Lipan. Apakah Mr. Kurt tidak salah menulis link?
    hehehe maaf lho Mr. Kurt …

    Eh saya selesaikan dulu membacanya ya Mr.

    😀 betul kang deKing, saya salah ngerlink 🙂 maafin yaa.

  8. 19 November, 2007 pukul 6:54 pm

    Mmmm gimana ya Pak …
    Kalau menurut saya sich berusaha mencari dan memaknai hakekat tidak masalah, selama kita tahu batas. Karena bagaimanapun juga hakekat akan sangat berarti.
    Jadi menurut saya mencari tahu hakekat tidak sama sekali useless, tetapi kalau terlalu cerewet ya memang akhirnya mempersulit diri sendiri :mrgreen:

    Kalau boleh saya juga ingin memakai contoh yang sama dengan Mr. Kurt, yaitu tentang vitaminosis.
    Misalnya kita tidak tahu apa dan bagaimana vitaminosis maka mungkin ada beberapa di antara kita yang menjauhi lemak. Mereka tidak tahu kalau lemak sangat bermanfaat untuk melarutkan vitamin A, D, E, K.

    Tapi ya seperti saya bilang di awal …
    Kalau terlalu banyak tanya malahan akhirnya akan mempersulit diri sendiri …
    Intinya wajar2 saja ya Pak hehehe

    🙂 kang deKing, begitulah logika cah santri ndeso, jadi saya merasa berterima kasih karena tulisanku bisa dibaca sekaligus dikoreksi alur logika dan premis-premisnya… wah tanpa sadar saya jadi ketularan berfilsafat meski acak kadut… 🙂 TQ sir!

  9. 19 November, 2007 pukul 7:01 pm

    bagaimana dg filsuf yg memang mencari hakikat terhadap sesuatu?

    😀 Mas alle filsuf pencari hakekat saya kira sangat penting u/ kemajuan iptek dan berbagai teori epistemologi dan lainnya, apalagi jika si filsuf itu adalah penikmat sekaligu pencinta sekaligus filosof duuuh saya mau berguru buru2 sama orang ini.. kang Alle pernah bertemu dengan orang inikah? heheh

  10. 19 November, 2007 pukul 8:49 pm

    Yah, saya lagi2 teringat dengan istilah cita2 (=Hakekat) dan usaha (syariat) untuk mencapainya.
    Kalo bercita2, ya harus berusaha… 🙂

    Bagemana mungkin anda ber-syariat tanpa berhakekat, ibarat berusaha terus tanpa tau tujuannya apa … 😆

    BTW, bentuk pisangnya bagus lho pak… 😆
    jadi nafsu lapar …

    🙂 hahaha.. pak dosen ini gimana toh, para santri diajarin solat, hingga otomatis. kemudian si santri diajarin fiqih aqidah dll.. nah para santri akhirnya mengerti sendiri hakekat shalat itu sendiri, sejalan dengan ilmu yang dideras itu. entah dari quran, hadits atau apalah. tapi anehnya, masing2 santri beda2 hakekat yang didapatnya… itulah yang kumaksud *halah* hakekat itu sudah inklude. dengan pelan tapi pasti, lama2 akan mengerti. Daripada dikasih tahu awalnya nanti malah gak tertarik pak.. heheh gimana pak dosen… 🙂

  11. 19 November, 2007 pukul 9:00 pm

    Lah, kalo nggak tahu hakekat, bukannya malah kayak robot pak. Di suruh itu manut, di suruh ono manut. Lah, kita kan bukan robot. :mrgreen:

    🙂 robot itu bukannya bukti kemajuan iptek bos heheeh 🙂
    nah, saya maksud dengan hakekat postingan ini bukan hakekat secara umum, tapi hakekat khsus pada ibadah saja. gimana bos?

  12. 19 November, 2007 pukul 9:42 pm

    Hakekat… Ah, jadi ingat orang-orang filsafat yang kost-nya kebetulan sama dengan saya. Bagaimana pisang pun dipertanyakan… :mrgreen:

    🙂 akhirnya cappe deeeh!

  13. 19 November, 2007 pukul 10:53 pm

    Hmmm…. Es Cream-nya bikin ngiler Pak… 😀

    🙂 hahah.. penikmat es krimkah?

  14. abah dedhot
    20 November, 2007 pukul 1:15 am

    Dahulu.. saat abah baru 2 hari pasca operasi pengangkatan amandel. Abah makan es krim malem-malem di ciloto puncak, waktu itu turun hujan lebat… jadi kebayang kan dinginnya.
    orang-orang (ngga faham haqiqat) bilang : “tuh ada orang gila… dingin-dingin begini makan es krim…”.
    waktu itu juga ada anak buah abah (ngga faham haqiqiqat juga, tapi ngga enak kalo ngga niru bos) yang liat abah makan es krim… ee.. dia ikut-ikutan (taklid) makan es krim… (wah, lebih gila lagi…dia)

    😀 hahaha.. semoga saja saya tidak mengikuti (taklid) pada anak buah Abah… heheh 🙂
    analogi yang logis sekali bah.. makasih.

  15. 20 November, 2007 pukul 3:01 am

    serius mode : ON

    bukankah justru sikap ‘telen ajalah’ itu yg membuat banyak orang nyasar *takut ama kata sesat*. untuk apa ruku’ dan sujudmu? lillahita’ala kah atau karna surga atau yg lebih parah lagi karena ‘islam bilang gitu nabi bilang gitu kalo ga nurut kafir ente’?
    pun pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia dengan rasa ingin tau yg tinggi, tapi sayangnya semakin kita dewasa semakin kita membuang keingintahuan itu diganti dengan sikap kemapanan. mapan dalam arti ga’ mau mikir yg susah2 yg penting hidup tenang nyaman damai dan ga dicap kafir.
    seperti halnya siti jenar, beliau tidak hanya ulama yg bersikap mapan, beliau lebih berusaha mencari hakekat dari apa yg dimaksud ibadah walaupun akibat yang ia terima seperti anda tau sendiri.. tapi sampai kematiannyapun saya rasa kecintaan beliau terhadap Penciptanya tak lebih rendah dari wali lainnya.

    Serius mode : OFF

    walah kepanjangan ya… maap2 , tapi pisangnya seksi juga tuh om??
    *digamparin santrinya pak kurtubi*

    🙂 *serius mode on*
    benar sekali jika *telan ajalah* yang saya maksud dalam tulisan sok itu mengindikasikan ada kesan itu. Saya kira tingkat kecerdasan kita lah yang akan menentukan sendiri seberapa derajat hakekat yang didapat. Jadi persoalannya *halah* sangat situasional… jadi tak mungkin memerintah shalat pada anak mahasiswa sama dengan anak SD atau TK dengan ancaman neraka atau hukuman. 🙂 SSJ beliau itu menurtu Abah Godhot, begitu tinggi sirrnya… sehingga wajar terjadi istilah2 fana.
    *mode serius off*

  16. 20 November, 2007 pukul 3:49 pm

    ah… postingan yg bagus walau saya kurang sependapat 😉

    Menurut saya hakikat sangat baik untuk dipelajari terlepas dari segala keterbatasan kita dalam merengkuhnya. Tapi bagi yang tidak mau berpusing ria untuk menyelaminya ya itu hak masing2 individu 🙂

    Misalnya: Bukankah kalau kita paham hakikat yg terkandung dalam es krim, kita bisa mengetahui lebih jauh mengenai baik-buruknya bagi tubuh kita? (seperti komen-nya abah dedhot) 😉

    😀 Tito benar bos saya tidak anti mempelajari hakekat itu sendiri… hanya saja untuk masalah ibadah itu, hakekat sudah inklude. Apakah dia mempelajari or not. Seperti dalam es krim juga, bagi para penikmat hakiki, maka tentu akan menghasilkan ilmu gizi, namun bagi “penikmat rasa es krim sejati” yaa pantang mundur… pokoke nikmat.. jadi ada batas2 orangnya kali bos… heheh makasih

  17. 20 November, 2007 pukul 4:29 pm

    Memburu dan menuai hakikat memang sering dicari oleh para pemburu nilai-nilai kesejatian diri yang konon akan membawa ke inti hakikat itu sendiri. Seringkali harus melalui prosesi dan ritual panjang dan melelahkan. Tapi, konon juga nih, di situlah indahnya dinamika para pemburu hakikat.
    *Sudah cukup bersyukur bisa menjalankan syariat, meski tidak mendalami hakikatnya*

    😀 Sawali Tuhusetya
    Sepakat pak, yang jelas pemburu hakekat itu berbeda juga kan dengna pemburu hantu hehehe 🙂

  18. 20 November, 2007 pukul 6:42 pm

    Jika kemudian tidak merasakan manfaatnya, barangkali buah pisang yang dimakan atau jeruk itu sendiri beracun, mengandung kuman, terkontaminasi atau apalah istilahnya

    saya setuju, barangkali memang telah terkontaminasi paman kurt. Seperti pisang, yang biasa dimakan setelah makan. Kebiasaan ini menurut saya kok menumpulkan ketertarikan pada pisang itu sendiri ya? Kebiasaan yang sama membuat bias vitamin c yang ada didalamnya, walaupun tentu para pemakan mengerti, bahwa vitamin c masih ada dan eksis di dalamnya. Jadi salahkah kebiasaan makan pisang ini? Tentu tidak, tapi bagaimana ya, caranya agar kebiasaan itu tidak membuat lupa? tapi membuat semakin sadar, mengenai pisang dan hakikatnya??

    😀 goop
    aneh yaa, sebuah kebiasaan jika terus menjadi autolife, kok jadi “tumpul rasa” yaa… gejala apa ini paman goop??
    saya pun teringat dengan cerita seorang kawan yang tinggal di bilangan Tanah Kusir: mereka setiap hari merawat orang2 meninggal, namun rasa keberagamaan mereka dipertanyakan… apakah ini sama kasusnya dengan buah pisang yang biasa dimakan menjadi tak menyadari hakekatnya? heheh 🙂

  19. edo
    20 November, 2007 pukul 7:10 pm

    wah.. ulasasn seru. menarik banget teori kang kartubi..
    pengen muntah dikit juga nih kang. moga2 ngga ngerepotin.

    saya termasuk orang yang suka “mempertanyakan” hal2 seperti ini. beberapa posting saya di blog sayah banyak nyerempet2 juga, terutama yang lama2 jaman masih sangat jahiliyah :p.

    setuju sebenarnya dengan konsep sampeyan. seorang bijak pernah bicara sama sayah, Tuhan itu seperti bagaimana kita pemandangnya. Kl kita anggap Tuhan itu pengasih penyayang, maka begitulah dia adanya. termasuk sebaliknya tentunya.

    Cuman nih kang, kadang, sisi keras kepala kita (atau saya aja deh daripada fitnah hehehe) suka mempengaruhi. mengalami memiliki efek yang berbeda daripada tidak mengalami. guyonannya, sama seperti ketika kita diingatkan “eh, itu yang di depan lu taik”. yang ada timbul rasa penasaran, ujung2nya dicolek juga, dicium, dan berkomentar “eh iya yah.. taik ternyata” hiueheiuhie…

    btw, baca tulisan kang kartubi, saya tiba2 timbul pikiran iseng “lah, kang kartubi sendiri menu(ju_red) kesimpulan begini bukannya setelah melakukan pencarian itu sendiri?” hehehehhe…

    memang, kita berpotensi munafik sama diri sendiri. males sholat, alesannya “ngapain saya sholat kl toh ngga bisa khusu’? itu sama saja artinya saya membohongi Tuhan. Betapa berdosanya saya membohongi sang Khaliq”. (ini pengalaman pribadi nih kang hehehhe). Tapi saya mempercayai 1 hal kang kartubi. Selama kita mengenal diri kita, nurani akan selalu memberikan “warning” ketika kita berusaha untuk menutup2i atau menafikkan kenyataan di dalam hati.

    so, baca tulisan sampeyan betapa saya ingin berfikir seperti sampeyan. semoga saya bisa seperti itu. but at least, sebagai orang yang juga terus mencari, saya berusaha untuk tidak membohongi diri sendiri. mencari hakikat sholat ya silahkan. tidak harus dengan cara meninggalkan sholat itu sendiri. Kl emang lagi males, ya ngga usah ngeles. dosa ya tetep dosa. jangan dibikin abu2 hehehhe… disini kita suka “nakal” masalahnya.
    but selama niatnya jelas, saya meyakini hakikat itu akan mendekati kita dengan sendirinya..

    toh ngga ada pilihan untuk Tidak percaya sama Dia. Ngga percaya Tuhan, ngga ibadah, dan ternyata Dia ada, jelas rugi 100%. Tapi tetep ibadah, mau sorga ada apa ngga, oportunitynya toh 50:50 hehehe…

    sorry nih jadi curhat kang…

    😀 edo Alhamdulillah saya mendapat “mutiara” dari benang kusut yang ada di pikiran aneh saya. Makasih kang Edo… 🙂

  20. 20 November, 2007 pukul 7:56 pm

    Aku butuh waktu ne, baca dulu, mikir dulu ya.
    *daripada salah koment*

    Bang, tapi hakekat si kudu dicari, didapat 🙂
    Biar semuanya ga sia-sia begitu saja, tanpa kita mengerti apa hakekatnya. Terlebih lagi hakekat hidup untuk……

    😀 perempuan
    Jeng peyem (eh perempuan), kasih saya dong hakekat hidup yang jeng dapatkan.. bagi2 ilmunya yaa..

  21. 20 November, 2007 pukul 11:20 pm

    komentar yang lainnya emnyusul yaa… … 🙂

  22. 21 November, 2007 pukul 1:18 pm

    Saya malah kok seperti air mengalir saja, karena sejak kecil ibu mengajarkan kebaikan, berbagi dengan sesama.

    Dan saya percaya selalu ada malaikat yang mencatat, karena saya merasa Allah swt begitu sayang sama saya…kalau si sulung belum pulang, saya ambil air wudu, dan sholat 2 rakaat…tak lama kemudian si sulung datang dan dengan santainya…”Ibu, maaf tadi lupa nelepon, pasti ibu menunggu ya..”

    Bekerja adalah ibadah, dan jabatan adalah amanah. Jika kita menganggap seperti itu, kita akan bekerja sebaik mungkin, walau bos tak ditempat, karena kita sendiri yang menerima hasilnya…jika kita bekerja baik, maka akan puas. Demikian juga jabatan, jika kita berpikir itu amanah, kita akan berhati-hati, menjaga agar tak dikotori keinginan pribadi, tapi jabatan tadi kita emban untuk berbuat sesuai aturan.

    Jadi hakekat tadi apa ya? Saya merasa, kalau saya kesulitan, Allah swt membimbing saya dan keluarga…kalau doa belum dikabulkan, mungkin saya memang harus banyak berdoa dan berbuat kebaikan. Benar nggak sih pendapatku ini? Sayapun tak tahu.

    😀 edratna
    “hidup seperti air mengalir”, “bekerja adalah ibadah” atau “ada malaikat” hmmm saya dapatkan lagi mutiara .. begitu praktis, ekonomis dan sedikit berkumis 🙂 Memang beda jadi seorang ibu! makasih ya bu…. 🙂

  23. 21 November, 2007 pukul 5:28 pm

    Kang Tub, saya setuju dengan Sampeyan bahwa mencari hakekat itu sangat mudah, semudah memakan es krim atau pisang. Segelas es krim apabila kita makan maka hakekat es krim itu telah kita makan. Buah pisang, apabila kita makan maka hakekat dari pisang tersebut telah kita nikmati. Tentu akan sangat lucu apabila ada segelas eskrim dan sebuah pisang yang masing belum dikupas kulitnya masih utuh di atas meja tetapi kita mengatakan kepada orang-orang bahwa hakikat dari es krim dan pisang tersebut telah kita makan tanpa ada syariat untuk memakannya. Mungkin saja kita akan dikatakan sebagai orang yang sudah tidak waras lagi.

    Begitu pun dengan ibadah. Saya kadang-kadang geli juga kalau ada yang mengatakan bahwa haji itu ada di hati. Kita tidak perlu datang ke tanah suci untuk melaksanakan rukun haji karena kita bisa melakukannya dengan hati kita. Halah gombal tenan kan kalau seperti itu? Nabi SAW saja dalam melaksanakan haji melakukan semua rukunnya. Mosok kita bisa-bisa mengatakan bahwa cukup dengan hati. Enek-enek wae.

    😀 Kombor
    Hahahaha… benar banget kang Kombor. masa sih ada yang bilang haji itu di hati… wah enak tenan ya.. sama dong kaya para “filosof” yang mengatakan bahwa sholat itu juga adanya dihati…

  24. 21 November, 2007 pukul 9:27 pm

    Bagi saya lebih mudah saya mengerjakan syariat seperti yang diajarkan kanjeng nabi. Yo ben jengkang-jengking, rubuh-rubuh gedang. Pokoknya saya percaya saja bahwa apa yang saya lakukan itu akan membawa kebaikan. Seiring berjalannya waktu, ternyata apa yang saya lakukan di shalat, saya rasakan dalam hati, saya rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Di saat itulah mungkin saya sudah mulai menemukan bulir-bulir hakikat dalam shalat saya. Saya orang yang bodoh, saya tak punya kemampuan dan akal yang cukup untuk mengembara dalam pencarian hakikat, maka saya ndherek saja apa yang diajarkan kanjeng Nabi, tanpa banyak tanya.

    😀 NuDe
    semoga rubuh-rubug gedung dan jengkang-jengkinge 🙂 bermanfaat…

  25. 21 November, 2007 pukul 10:23 pm

    Yah, kalo tanpa hakekat di agama, namanya robot yang sedang beragama. Kan kita tetap bukan robot toh? 😆

    😀 danalingga
    Hahahah… robot beragama?? istilah keren bos…. 🙂

  26. 22 November, 2007 pukul 9:49 pm

    Assalamualaikum pak Kurt,wah nih posting bikin nyut-nyut aja.Hakekat kebenaran yang sesungguhnya kenyataan yang sebenar-benarnya kalau di selipin agama lagi wah pak piye to aku gak iso koment lagi hehehe tar di baca dulu trus di resapi peres otak n hati ikutan iso gak pak hehehehe. Wassalam.

    😀 fira
    nyut-nyut di bagian sebelah mana bu ? *cari-cari*

  27. 24 November, 2007 pukul 10:40 am

    Ass. Wr. Wb,

    Sebaiknya bila ingin belajar HAKEKAT janganlah dengan mencoba2 memikirkan sendiri yang kemudian dihubung2kan dengan riwayat Nabi, sebab bila itu dilakukan dengan meniru cara Nabi Muhammad SAW di goa HIRA adalah tidak benar, karena itu sebelum Allah SWT menurunkan wahyu dan akhirnya orang akan berfikir se-olah2 Al-Qur`An adalah sebuah hasil bertafakur di dalam goa, padahal dalam tafsir Al-Qur`An misal tentang embrio manusia, tentang bulan dan matahari dan banyak lagi bila dikaji pada zaman itu ilmu pengetahuan manusia adalah dimana sebelum zaman Galeleo, atau microskop, sepertinya pada zaman itu tidak ada seorang yang sangat jeniuspun dapat memikirkan tentang bulan dan embrio atau sel indung telur jantan pada manusia. Sehingga kesimpulan bahwa Al-Qur`An bukanlah hasil pemikiran manusia atau hasil sebuah pertapaan di dalam goa.
    Ilmu hakekat adalah sebagian dari ilmu Tauhid artinya sebuah bagian dari ilmu yang menuju mengenal Allah SWT.
    Dan saya anjurkan bila ingin mempelajari hakekat maka kenalilah diri sendiri terlebih dahulu sejak dialam kandungan dan belajarlah dengan yang sudah memahami ilmu tauhid secara mendalam, janganlah men-coba2 menelaah sendiri, bahayanya adalah jalan kesesatan yang akan ditemui.
    Semoga Allah SWT selalu memberi petunjuk jalan yang lurus bagi kita semua, amiiin.

    Ws. Wr. Wb.

    😀 lani
    Amin bu, belajar tauhid secara mendalam dan jangan coba2 menelaah sendiri…… (sudah ku catata bu)

  28. edo
    24 November, 2007 pukul 3:58 pm

    😀 edo Alhamdulillah saya mendapat “mutiara” dari benang kusut yang ada di pikiran aneh saya. Makasih kang Edo… 🙂

    duh kang.. jarang2 aku digombali begini
    sayang sampeyan laki2
    coba sampeyan wanita.. sudah tak nikahi paling
    hihihihi

    😀 edo
    hahahaha…… baru sama gombal bos…

  29. Islam Syiah
    25 November, 2007 pukul 8:26 pm

    Kalaulah hakekat Sorga dan Neraka seperti pisang itu…

  30. 25 November, 2007 pukul 9:35 pm

    Islam Syiah
    hahah.. betul bos, andai saja yah.. who knows??? 🙂 salam …..

  31. 2 Desember, 2007 pukul 12:03 am

    @abah dedhot

    ee.. dia ikut-ikutan (taklid) makan es krim… (wah, lebih gila lagi…dia)

    ehh … jangan-jangan abah yang nggak ngerti hakekat ketaklidan 😀 *bcanda*

  32. joko lelono
    16 Juni, 2011 pukul 2:12 pm

    semua indah

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar